Woensdag 27 Maart 2013

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA DEWASA INI



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung selama hidup dan kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena manusia selalu mengadakan interaksi dengan lingkunganya. Pendidikan diartikan suatu proses yaitu proses mendewasakan manusia. Mengapa pendidikan diperlukan manusia? Anak manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk memberikan bimbingan dalam rangka membawa anak kearah kedewasaan menuju insan kamil, yaitu manusia paripurna.
Permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia masih sangat banyak dan kompleks. Namun hal itu tidak harus menyurutkan optimisme dan langkah kita –para penyelenggara pendidikan- untuk berupaya memperbaiki dan  meningkatkan kualitas dunia pendidikan kita. Dari sederet permasalahan dalam dunia pendidikan, dapat dirunut diantaranya sebagai berikut:
Ø  Permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Ø  Banyak anak didik yang tidak memperoleh pendidikan yang layak.
Ø  Banyak lulusan yang kurang memiliki kompetensi.
Ø  Mutu Guru Berbanding Lurus dengan Kualitas Pendidikan.
Ø  Profesionalisme Guru.
Ø  Tentang Pendidikan Gratis.
Ø  Tentang Pendidikan yang Layak.
Permasalah-permasalahan ini akan coba dipaparkan secara singkat. Mudah-mudahan hal ini dapat menjadi langkah awal dalam mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini.



BAB II
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA DEWASA INI

A.  Masalah Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Megapa kinerja pendidikan Indonesia rendah, buruk, dan memprihatinkan? Jawabanya; karena meski sudah merdeka lebih dari setengah abad tetapi indonesia sampai kini masih menghadapi masalah pembiayaan pendidikan. Dalam sejarahnya sejak republik ini berdiri hingga kini, belum pernah pemerintah mengalokasikan dana memadai untuk pembiayaan pendidikanya.
Secara empiris dari waktu kewaktu dan dari tahun ke tahun tidak atau belum pernah pemerintah republik secara memadai mengalokasi budget negaranya untuk membiayai praktik pendidikan.
Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong amat rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP.
Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan, indonesia termasuk negara paling “pelit” didunia. Jangankan dibandingkan negara-negara maju seperti Norwegia, Kanada, AS, dan Selandia Baru yang mengalokasi dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak pernah sanggup melawan. Malaysia mengalokasi untuk biaya pendidikan sebesar 5,2% dari GNP, Singapura 3,0%, Thailand 4,1% dan Australia sudah mencapai 5,6%.
Angka 1,4% di Indonesia itu juga terlalurendah karena angka rata-ratapada negara-negara belum maju sebesar 3,5%, negara-negara berkembang 3,8% dan di negara-negara maju mencapai 5,1 %. Jadi, alokasi dana untuk pendidikan dinegara kita angkanya tidak lebih rendah dari angka rata-rata di negara-negara maju dan negara-negara berkembang, tetapi ternyata juga lebih rendah dari rata-rata angka di negara-negara belum maju atau terbelakang.
Total pengeluaran dalam APBN 2003 mencapai Rp 354,1 Triliun. Apabila pemerintah taat pada ketentuan UUD 1945 maupun UU Sisdiknas, maka dana yang di alokasi untuk Pembiayaan pendidikan nasional setidaknya sebesar Rp 70,8 Triliun; taitu sebesar 20% dari total peneluaran. Dalam realitasnya pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebanyak Rp 13,6 Triliun atau sekitar 3,8% dari total pengeluaran negara.
Berbagai ilustrasi itu menunjukan rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan inilah yang menyebabkan kinerja pendidikan nasional kita rendah, buruk, dan memprihatinkan.[1]

B.  Banyak Anak yang Tidak Memperoleh Pendidikan yang Layak
Permasalahan rumit yang tetap menghadang pendidikan kita masih saja akan berkisar pada aspek kualitas, relevansi, dan peningkatan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh rakyat indonesia. Dari aspek kualitas, pendidikan kita memang sungguh sangat memprihatinkan: terutama pendidikan diluar jawa yang jika dibandingkan dengan pendidikan di jawa memiliki kesenjangan yang amat lebar, meskipun hal ini bukan berarti pendidikan dijawa sudah memiliki kualitas yang memadai.[2]
Masih banyak diantara anak-anak kita yang belum memperoleh pendidikan. Masih banyak pula warga negara yang belum memperoleh pendidikan. Jangankan pendidikan yang layak serta bermutu, mengenyan pendidikanpun tidak pernah, jumlahnya anak-anak kita yang tidak mengenyam pendidikan itu masih jutaan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, melalui menanggung dana pendidikan (BOS) sampai tingkat pendidikan Menengah Pertama, namun belum semua lapisan masyarakat tersentuh untuk menyekolahkan anaknya. Cara-cara yang lain misalnya, dengan membuka sistem paket A, B, dan C, SMP Terbuka, SMP Satu Atap, Penambahan RKB atau ruang kelas baru, unit gedung baru yaitu dengan membuka sekolah baru. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, BAB VIII Pasal 34 menyatakan:
1) setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program wajib belajar;
2) penerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
3) wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggrakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat;
4) ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur lebih lanjut dengang Peraturan Pemerintah.
Untuk menjaring sebesar-besarnya anak-anak yang belum mendapat kesempatan pendidikan formal, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberlakuakan jam wajib belajar. Waktu jam belajar diberlakukan tidak ada anak yang berada dijalanan, demikian juga sanksi bagi orang tua anak yang tidak memberi kesempatan anaknya bersekolah.
Tidak hanya pendidikan melainkan juga realitas sosial itu sendiri sudah dibangun diatas pemikiran mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam ketergantungan yang sama terhadap sekolah, pendidikan lalu membebani baik orang kaya maupun orang miskin.[3]
Pendidikan sebagai praktek pembebasan, bukanlah pengalihan tau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan. Pendidikan bukan juga ekstensi pengetahuan teknis. Ia bukan pula menanamkan laporan atau fakta kedalam terdidik. Itu bukan pemancaraan nilai-nila dari kebudayaan terberi. Itu bukan usaha mengadaptasikan tedidik kepada lingkungan.[4]
Banyak faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah dan tinggal kelas, antara lain lemahnya kemampuan dan motivasi belajar siswa, lemahnya kemampuan ekonomi, tingginya harga kesempatan (opportunity cost) sekolah terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin, kurang sensitifnya sekolah terhadap peserta didik, kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap anak yang belajar, kurang relevanya pengetahuan yang diperoleh disekolah dengan kebutuhan siswa, dan banyak lagi.[5]



C.  Banyak Lulusan yang Kurang Memiliki Kompetensi
Masalah ini berhubungan dengan mutu pendidikan. Mutu dapat ditingkatkan melalui beberapa komponen.








OUTPUT
 


 



Bagan komponen Pendidikan

Penjelasan:
Input adalah msukan mentah yang berwujud siswa baru yang akan memasuki lembaga pendidikan tertentu, sesuai ketentuan yang diatur oleh lembaga tersebut, kemudian dalam kurun waktu tertentu mereka diproses (proses input). Proses input, dimaksudkan proses kegiatan pembelajaran. Dengan demikian yang melakukan proses (pendidik) adalah orang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang pendidikan. Kalau proses ini bermutu tinggi, tentunya akan menghasilakn output yang bermutu juga. Proses input yang bermutu itu secara konsisten harus menjalankan  ketentuan-ketentuan dengan semestinya. Misalnya guru sebelum melakukan PBM harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan digunakan selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, yang akan dialkuakan oleh guru serta yang akan dilakukan oleh siswa selama berlangsung pembelajaran, dengan persiapan yang matang, merencanakan program pengajaran, menyiapkan alat dan media yang akan digunakan, mencari buku sumber yang akan digunakan, pendekatan atau metode yang sesuai, sampai kepada tindak lanjut.  Tentu saja peristiwa yang terjadi waktu proses kegiatan belajar mengajar tidak bisa lepas dari komponen lain yang turut menentuka keberhasilan serta kualitas output. Komponen tersebut adalah kurikulum, biaya pendidikan, faktor non guru, budaya sekolah dan lingkungan (environmental input) misalnya penduduk, ekonomi, keamanan, kultur dan politik.
Output, lulusan atau keluaran dari suatu lembaga pendidikan yang bermutu akan dinilai oleh pengguna lulusan tersebut, sinergi atau relevan dengan pasar serta sepadan dengan kebutuhan. Sasaran pendidikan belum tercapai sebenarnya, kendala yang utama disini adalah peranan guru didalam melakukan  proses input tadi. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional.  Guru harus menguasai cara serta metode pembelajaran yang canggih artinya metode belajar mengajar yang dapat menarik minat serta merangsang siswa belajar. Guru itu harus mengembangkan cara-cara belajar yang kreatif dan menggairahkan para siswa. Oleh karena itu, seorang guru harus belajar terus menerus agar pengetahuan merkan selalu bertambah.

D.  Mutu Guru Berbanding Lurus dengan Kualitas Pendidikan
Secara hakiki, pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukanya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan yang behasil adalah pendidikan yang mampu membentuk genersi muda cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996), yaitu mampu melakukan building the character and mind young generasion.
Mohammad Surya dalam kuliah umumnya pada Dies Natalies UPY ke-45 mengemukakan suatu pandangan, bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghsilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka.
Pernyataan mengamat pendidikan Mochtar Buchori yang menilai bahwa kebijakan pendidikan nasional saat ini masi belum jelas. Moctar memandang, bahwa ada dua persoalan penting untuk memperbaiki pendidikan di indonesia. Pertama, meningkatkan mutu guru. Kedua, rasionalisasi dan modernisasi kurikulum.
Fuad Hasan dalam pendapatnya tentang perkembangan Pendidikan Indonesia pernah berkata,” jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan”. Sebagai mantan Menteri Pendidikan, beliau tentu sadar betul bahwakualitas gurulah yang justru menjadi permasalahan pokok pendidikan dimanapun. Baik itu di Indonesia, Jepang, Finlandia, AS, dan dimanapun didunia ini, kualitas pendidikan dilihat oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik, maka baik pula kualitas pendidikanya. Contohnya adalah Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan terbaik didunia, yang dengan serius menjaga kualitas gurunya.
Guru-guru di Finlandia dapat dikatakan sebagai guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolag menengah terbaik, biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk disekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persainganya ketimbang masuk kefakultas bergengsi lainya, seperti fakultas hukum dan kedokteran. Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididika oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula.
Dengan kualitas mahasiswa yang baik, pendidikan dan pelatihan guru akan berkualitas tinggi, sehingga tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Denga kompetensi tersebut, mereka dengan mudah menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri. Tak ada permasalahan dengan kurikulum apa pun yang mereka inginkan, dengan koki yang hebat, bahan makanan seadanya bisa menjadi masakan yang enak dan menarik. Sedangkan orang yang tidak bisa memasak, hanya akan merusak bahan makanan yang sebaik apapun.
Hal ini berarti pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru. Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The Internosional Commission on Education for Twenty-First Century, yaitu “ memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama terganutung pada perbaikan reicutmen, pelatihan, status sosial dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter persona, prospek profesional dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan” (Jacques Delors: 1996). Karena itu, upaya meningkatkan mutu, profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan.
Suratmi mengatakan bahwa guru harus selalu meningkatkan kemampuan dan keahlianya untuk mempersiapkan diri dalam persaingan dunia. Guru juga harus menjadi seorang yang dapat bekerja sama yang baik dengan menggunakan sumber daya informasi. Ada lima syarat agar guru dapat memasuki era global, yaitu menguasai ilmu pengetahuan dasar, memiliki kemampuan belajar dalam berbagai situasi, sadar akan sains dan teknologi, mempunyai jiwa berusaha dan memiliki budaya kerja yang tinggi. Dalam kaitan itu, ia meminta pemerintah supaya memprioritaskan pembangunan disektor pendidikan, terutama tersedianya dan pemberdayaan tenaga guru.
Lembaga pendidikan sebagai pranata sosial dari kebudayaan didalam membangun masyarakat madani indonesia haruslah menjiwai dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang memasung perkembangan intelektual dan moral dari peserta didik akan bertentangan secara dimeteral dengan tuntutan masyarakat madani.[6]
E.  Profesionalisme Guru
Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional menyatakan bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Profesi guru menurut UU tentang guru dan dosen, harus memiliki prinsip-prinsip Profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut ini:
·      Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
·      Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.
·      Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
·      Mematuhi kode etik profesi.
·      Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
·      Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
·      Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
·      Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
·      Memilki organisasi profesi yang berbadan hukum.
Pada prinsipnya, profesionalisme guru adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain: ahli dibidang praktik dan keguruan. Guru profesional adalah guru ynag menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikanya). Dengan kata lain, guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan pesertadidiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik.
Guru sebagai profesi, selain memiliki peran dan tugas sebagai pendidik, juga memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesionalnya adalah memberikan layanan optimal dalam bidang pendidikan kepada masyarakat. Lebih khusus, guru dituntut memberikan layanan profesional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi apabila salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organisasi profesi dengan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Fungsi organisasi profesi selain untuk melindungi kepentingan anggotanya juga sebagai dinamisator dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih baik (Kardinata dalam Meter; 1999). konsekuensinya Organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi:
·         Menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah
·         Mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan,
·         Melinndungi kepentingan anggotanya,
·         Menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya,
·         Menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan
·         Mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psikologis. Memiliki latarbelakang pendidikan keguruan yang memadai.
Keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain:
a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing, dan melatih.
b) sebagai pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki,
c) sebagai tugas kemasyarakatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru seperti ini, menuntut pribadi guru harus memiliki kemampuan manajerial, teknis, prosedur kerja sebagai ahli, serta keikhlasan bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
Usman (2004) membedakan kompetensi guru menjadi dua yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesioanal. Kemampuan pribadi meliputi:
§  Kemampuan mengembangkan kepribadian
§  Kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi
§  Kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
Sementara itu, kompetensi profesional meliputi:
§  Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk:
(1) memahami tujuan pendidikan
(2) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat
(3) mengenai prinsip-prinsip psikologi pendidikan
§  Menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang diajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan.
§  Kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kompetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran
§  Kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.


F.   Pendidikan Gratis
Aristoteles yang hidup 384-322 SM, telah menyatakan bahwa pendidikan adalah persiapan terbaik untuk masa tua. Ungkapan Aristoteles menyiratkan makna, bahwa pendidikan adalah investasi, yang kita kenal sekarang sebagai human investment. Kata investasi selalu berdampingan dengan kata modal. Setiap investasi pasti memerlukan modal dan kata modal lebih merujuk pada finansial. Lalu, bagaimana dengan gagasan pendidikan gratis, mungkinkah pendidikan digratiskan? Wacana pendidikan gratis senter mengemuka akhir-akhir ini, baik untuk konsumsi kampanye calon pimpinan daerah maupun wacana yang diusung mahasiswa dalam demonstrasi mereka.
Fakta aktual keberhasilan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, meraih kemenangan dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat karena salah satu menu kampanyenya mengusung ide pendidikan gratis. Namun, wacana pendidikan gratis dalam menu kampanye tersebut kini mulai menuai persoalan. Sebut saja misalnya, ketika soal pendidikan gratis ini diajukan oleh seorang anak yang diasuh oleh Yayasan Danah Sosial Al-Falah (YDSF) bernama Ayatullah saat membacakan surat dihadapan Gubernur Jawa Barat, dalam acara peringatan hari anak Nasional yang dilaksanakan diruang Saung Angklung Udjo, jalan Padasuka Kota Bandung.
“Pak Gubernur yang terhormat, pasti sekang ini bapak sedang bingung untuk menjadikan sekolah-sekolah tidak perluh menarik biaya dari muridnya. Tapi kami akan ikut berdoa semoga bapak bisa cepat-cepat muwujudkan sekolah gratis menjadi kenyataan.”Sang Gubernur menimpalinya,” memang benar sekali isi surat anak-anak itu. Saya sekarang sedang membolak-balik dan memutar otak agar layanan pendidikan di Jawa Barat bisa dirasakan semua lapisan masyarakat. Insyaallah untuk kaum Duafa akan bisa digratiskan atau dengan pendidikan murah.
Alih-alih bisa digratiskan, pada tahun ajaran 2008-2009, hampir semua sekolah negeri kian “mahabu”(merajalela) memungut uang dari murid. Misalnya pungutan yang relatif besar melalui apa yang disebut dana sumbangan pendidikan (DSP). Belum soal pungutan yang diberlakukan apabila menerima siswa pindahan. Jadi, apakah indikator-indikator ini menuju kearah sekolah tanpa pungutan dari siswa atau gratis atau justru menjauhkanya, bahkan berseberangan jauh dengan wacana pendidikan gratis. Dalih yang dapat dijadikan alasan bagi pihak sekolah tentu sederet. Misalnya, untuk menyediakan fasilitas sekolah yang representatif; untuk pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN), dan sebagainya.
Namun sejatinya, ada persoalan yang sangat substantif bahwa sekolah kita memang sedang menuju pada ekslusivisme, yaitu sekolah dengan biaya mhal. Bahkan, ada dalih yang mengemuka bahwa sekolah berkualitas harus mahal atau dengan kata lain bahwa untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas niscaya memerlukan modal yang besar. Kobnsep ini tentu akan menuai kontra. Apakah dengan sekolah mahal akan menjamin lulusan yang berkualitas? Tentu saja pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan “iya” atau ”tidak”.
Didalam pertanyaan itu tersirat kandungan makna terkait dengan komitmen, kejujuran, kesungguhan, orientasi dan cita-cita luhur. Jadi belum tentu sekolah mahal menjamin lulusan berkualitas. Pertanyaan mengejutkan dilontarkan Jaksa Muda Pidana Khusus (jampidsus) Marwa Efendi, bahwa pungutan liar (pungli) yang marak tiap tahun saat penerimaan siswa baru hampir semua sekolah di Indonesia termasuk kategori tindak pidana korupsi, karena semua pungutan yang tidak ada landasan hukum itu pasti pungli dan pungli adalah korupsi (Pikiran Rakyat, 12-7-2008).
Jika definisi korupsi seperti itu, maka nyaris tiap sekolah dikategorikan melakukan korupsi. Setiap korupsi pasti merugikan, dan yang paling dirugikan adalah rakyat. Jika hal ini terus terjadi, dapat dipastikan sekolah dengan tidak mengadakan pungutan biaya kepada siswa atau pendidikan gratis tidak mungkin terwujud. Dengan kata lain, pendidikan gratis yang diwacanakan banyak pihak yang menjadi sesuatu hal yang sulit terwujud.
Memang persoalan sekolah atau pendidikan gratis masih dipersepsi secara variatif. Ada yang mempersepsi pindidikan gratis, sesuatu yang tidak mungkin karena biaya operasional sekolah/pendidikan tidak murah. Ada juga yang mempersepsi pendidikan gratis, yaitu sekolah yang tidak memungut biaya apa pu  kepada murid. Artinya biaya operasional pendidikan ditanggung pihak tertentu, seperti donatur.
Lepas dari dua persepsi tersebut, sejatinya mayoritas masyarakat kita menghendaki biaya sekolah tidak terus meningkat dan begitu membebani sebagian besar orang tua murid. Tren munculnya sekolah internasional, dan sekarang digulirkanya Sekolah Standar Nasional (SSN) tampaknya secara tidak langsung turut mendongkrat biaya sekolah, yang sekarang sudah mengarah kepada “komersialisasi”. Lalu, adakah tempat bagi sekolah yang tidak memungut biaya kepada murid atau pendidikan gratis? jika pun ada sekolah (swasta) yang tidak memungut bayaran dari muridnya karena sudah ada yang menanggung, yaitu donatur, pasti akan menghadapi persoalan menggunungnya peminat ke sekolah tersebut, terutama dari kalangan keluarga tidak mampu. Hal ini, tentu saja akan memunculkan kebijakan adanya seleksi masuk karena keterbatasan ruang kelas, dan sebagainya. Problem ini merupakan bagian integral dari adanya pendidikan gratis.
Dalam kondisi sekarang, pendidikan gratis pun tidak berarti bebas dari masalah. Bahkan, diakui oleh Gubernur Jawa Barat yang dulu mengusung menu kampanye pendidikan gratis, bahkan jika pun anggaran pendidikan mencapai angka 20% dari APBN atau APBD diluar gaji guru, tetap saja tidak akan mampu untuk memenuhi biaya pendidikan. Dengan kata lain, secara real pendidikan gratis, baru efektif sebatas wacana dan janji kampanye, belum realistis dalam tataran praksis. Kalau begitu, dalam konteks sekarang ditengah kesadaran kaum elite, pengusaha, dan kaum menengah bangsa ini yang belum peduli pada nasib sesama, pendidikan gratis masih dianggap utopis. Kalau pun ada yang dapat menyelenggarakanya, sebatas kasus satu dua sekolah. Jadi pendidikan gratis, mustahil dalam arti pendidikan tanpa biaya (hasim, kompas,Juli 2008).
G.  Pendidikan yang Layak
Baik berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif, ternyata masih banyak anak didik dari berbagai jenjang pendidikan belum mendapat pendidikan yang layak. Selain itu, yang lebih tragis bahkan masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat memperoleh hak bersekolah mereka karena berbagai alasan. Hal itu tentu saja akan berakibat pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM ) Indonesia secara kumulatif. Hal ini pun akan berdampak luas pada rendahnya daya saing bangsa Indonesia ditingkat persaingan Global. SDM yang rendah diera globalisasi akan menimbulkan malapetaka bagi bangsa ini, karena dipastikan tidak akan dapat bersaing dalam berbagai sektor kehidupan global. Selain itu, SDM yang rendah akan memjadi beban masyarakat dan beban negara.
Mencapai pendidikan yang layak , bukanlah perkara mudah. Pengertian pendidikan yang layak, terkait dengan seluruh komponen penunjang pendidikan, seperti sarana dan prasarana pendidikan. Secra kasat mata, masih banyak bangunan sekolah, terutama bangunan Sekolah Dasar (SD), yang tidak layak pakai karena rusak atau juga karena tidak strategis tempat keberadaanya. Gedung sekolah yang rusak tentu akan mengganggu konsentrasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). KBM di bawah atap bangunan sekolah yang berada dekat dengan jalan raya akan terganggu oleh bising suara kendaraan, disamping akan mengancam keselamatan jiwa siswa yang lalu lalang menyebrangi jalan raya ketika akan menuju dan pulang dari sekolah.
Selain itu pendidikan yang layak menuntut adanya fasilitas belajar yang lengkap, mulai buku paket atau buku ajar sampai dengan ketersediaan media dan sumber belajar, seperti perpustakaan. Kelengkapan laboratorium juga salah satu indikator kelayakan pendidikan.
Guru-guru yang profesional dan proporsional termasuk kedalam perangkap kelayakan pendidikan. Guru yang tidak profesional akan sangat sulit menghayati dan menjiwai peranya sebagai pembimbing dan pengayom siswanya, guru yang tidak profesional pun sangat sulit untuk mengembangkan dan menanamkan kepribadian luhur kepada murid-muridnya.
Selain itu, jumlah guru proporsional, dalam arti tidak sesuai dengan kebutuhan akan berdampak pada kelayakan pelayanan kepada siswa. Hal ini lebih lanjut dapat menimbulkan keterlantaran siswa dari segi asupan gizi pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka. Dengan demikian, mengukur kelayakan pendidikan dapat ditakar diantaranya dari ketersediaan sarana dan prasarana belajar, media dan sumber belajar, serta guru yang profesional dan proporsional. Oleh karena itu pendidikan yang layak kepada setiap jenjang pendidikan merupakan suatu keniscayaan . pengertian yang layak tentu menyangkut seluruh aspek pendidikan, tenaga pendidik, tenaga administratif, sarana prasarana dan sebagainya.[7]
Kelayakan seorang guru sangatlah diperlukan agar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan program dan hasilnya maksimal. Kelayakan guru menjadi syarat kelancaran proses sehingga harus dipenuhi sang guru dan penyelenggara sekolah. Sebagai sebuah proses, maka kelayakan yang dituntut dalam hal ini adalah kemampuan sang guru didalam pengelolaan proses pembelajaran, kemampuan mengajar.[8]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berbagai ilustrasi itu menunjukan rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan inilah yang menyebabkan kinerja pendidikan nasional kita rendah, buruk, dan memprihatinkan.
Banyak faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah dan tinggal kelas, antara lain lemahnya kemampuan dan motivasi belajar siswa, lemahnya kemampuan ekonomi, tingginya harga kesempatan (opportunity cost) sekolah terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin, kurang sensitifnya sekolah terhadap peserta didik, kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap anak yang belajar, kurang relevanya pengetahuan yang diperoleh disekolah dengan kebutuhan siswa, dan banyak lagi.
Aristoteles yang hidup 384-322 SM, telah menyatakan bahwa pendidikan adalah persiapan terbaik untuk masa tua. Ungkapan Aristoteles menyiratkan makna, bahwa pendidikan adalah investasi, yang kita kenal sekarang sebagai human investment. Kata investasi selalu berdampingan dengan kata modal. Setiap investasi pasti memerlukan modal dan kata modal lebih merujuk pada finansial. Lalu, bagaimana dengan gagasan pendidikan gratis, mungkinkah pendidikan digratiskan? Wacana pendidikan gratis senter mengemuka akhir-akhir ini, baik untuk konsumsi kampanye calon pimpinan daerah maupun wacana yang diusung mahasiswa dalam demonstrasi mereka.
Kelayakan seorang guru sangatlah diperlukan agar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan program dan hasilnya maksimal. Kelayakan guru menjadi syarat kelancaran proses sehingga harus dipenuhi sang guru dan penyelenggara sekolah. Sebagai sebuah proses, maka kelayakan yang dituntut dalam hal ini adalah kemampuan sang guru didalam pengelolaan proses pembelajaran, kemampuan mengajar.



DAFTAR PUSTAKA

Surya Mohamad, dkk. 2010. Landasan Pendidikan; Menjadi Guru yang Baik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sutikno Sobry. 2006. Pendidikan sekarang dan Masa Depan. Mataram: NTP Press.
Widiastono tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Suwati. 2008. Sekolah Bukan untuk Mencari Pekerjaan. Jakarta: Pustaka Grafia.
Freire Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT GRAMEDIA.
Tilaar H. A. R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Supriadi Dedi. 2005. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Illich Ivan. 2008. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: YAYASAN OBOR INDONESIA.


[1] Tonny D. Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Hal; 426-428.
[2] M. Sobri Sutikno. 2006. Hal:25 ; cet. Ke-3
[3] Ivan Illich. 2008. Hal:3 (edisi ke III)
[4] Prof. Dr. Paulo Freire. 1984. Hal: 117
[5] Prof. Dr. Dedi Supriadi. 2005. Hal: 115
[6] Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed. 2002. Hal: 174; cet: ke-3
[7] Prof. Dr. H. Mohamad Surya, dkk. 2010. Landasan Pendidikan; Menjadi Guru yang Baik. Hal: 2-14. Cet. Ke 1
[8] Suwati. 2008. Sekolah bukan untuk mencari pekerjaan. Hal:134-135. Cet. Ke1