PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu proses yang
berlangsung selama hidup dan kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena manusia selalu
mengadakan interaksi dengan lingkunganya. Pendidikan diartikan suatu proses
yaitu proses mendewasakan manusia. Mengapa pendidikan diperlukan manusia? Anak
manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, sehingga memerlukan
bantuan orang lain untuk memberikan bimbingan dalam rangka membawa anak kearah
kedewasaan menuju insan kamil, yaitu manusia paripurna.
Permasalahan yang dihadapi dunia
pendidikan di Indonesia masih sangat banyak dan kompleks. Namun hal itu tidak
harus menyurutkan optimisme dan langkah kita –para penyelenggara pendidikan-
untuk berupaya memperbaiki dan
meningkatkan kualitas dunia pendidikan kita. Dari sederet permasalahan
dalam dunia pendidikan, dapat dirunut diantaranya sebagai berikut:
Ø Permasalahan
pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Ø Banyak
anak didik yang tidak memperoleh pendidikan yang layak.
Ø Banyak
lulusan yang kurang memiliki kompetensi.
Ø Mutu
Guru Berbanding Lurus dengan Kualitas Pendidikan.
Ø Profesionalisme
Guru.
Ø Tentang
Pendidikan Gratis.
Ø Tentang
Pendidikan yang Layak.
Permasalah-permasalahan ini akan coba
dipaparkan secara singkat. Mudah-mudahan hal ini dapat menjadi langkah awal
dalam mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia dewasa ini.
BAB
II
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN DI INDONESIA DEWASA INI
A. Masalah Pembiayaan Pendidikan di
Indonesia
Megapa
kinerja pendidikan Indonesia rendah, buruk, dan memprihatinkan? Jawabanya;
karena meski sudah merdeka lebih dari setengah abad tetapi indonesia sampai
kini masih menghadapi masalah pembiayaan pendidikan. Dalam sejarahnya sejak
republik ini berdiri hingga kini, belum pernah pemerintah mengalokasikan dana
memadai untuk pembiayaan pendidikanya.
Secara
empiris dari waktu kewaktu dan dari tahun ke tahun tidak atau belum pernah
pemerintah republik secara memadai mengalokasi budget negaranya untuk membiayai
praktik pendidikan.
Jika diukur dari GNP,
pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong amat rendah. Indonesia hanya
mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP.
Dalam
mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan, indonesia termasuk negara
paling “pelit” didunia. Jangankan dibandingkan negara-negara maju seperti
Norwegia, Kanada, AS, dan Selandia Baru yang mengalokasi dana pendidikan
relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita
tidak pernah sanggup melawan. Malaysia mengalokasi untuk biaya pendidikan
sebesar 5,2% dari GNP, Singapura 3,0%, Thailand 4,1% dan Australia sudah
mencapai 5,6%.
Angka 1,4% di Indonesia
itu juga terlalurendah karena angka rata-ratapada negara-negara belum maju
sebesar 3,5%, negara-negara berkembang 3,8% dan di negara-negara maju mencapai
5,1 %. Jadi, alokasi dana untuk pendidikan dinegara kita angkanya tidak lebih
rendah dari angka rata-rata di negara-negara maju dan negara-negara berkembang,
tetapi ternyata juga lebih rendah dari rata-rata angka di negara-negara belum
maju atau terbelakang.
Total
pengeluaran dalam APBN 2003 mencapai Rp 354,1 Triliun. Apabila pemerintah taat
pada ketentuan UUD 1945 maupun UU Sisdiknas, maka dana yang di alokasi untuk
Pembiayaan pendidikan nasional setidaknya sebesar Rp 70,8 Triliun; taitu
sebesar 20% dari total peneluaran. Dalam realitasnya pemerintah hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan sebanyak Rp 13,6 Triliun atau sekitar 3,8%
dari total pengeluaran negara.
Berbagai
ilustrasi itu menunjukan rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk
pembiayaan pendidikan di Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Rendah dan tidak
memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan inilah yang menyebabkan
kinerja pendidikan nasional kita rendah, buruk, dan memprihatinkan.[1]
B. Banyak Anak yang Tidak Memperoleh
Pendidikan yang Layak
Permasalahan
rumit yang tetap menghadang pendidikan kita masih saja akan berkisar pada aspek
kualitas, relevansi, dan peningkatan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan bagi seluruh rakyat indonesia. Dari aspek kualitas, pendidikan kita
memang sungguh sangat memprihatinkan: terutama pendidikan diluar jawa yang jika
dibandingkan dengan pendidikan di jawa memiliki kesenjangan yang amat lebar,
meskipun hal ini bukan berarti pendidikan dijawa sudah memiliki kualitas yang
memadai.[2]
Masih banyak diantara anak-anak kita yang belum
memperoleh pendidikan. Masih banyak pula warga negara yang belum memperoleh
pendidikan. Jangankan pendidikan yang layak serta bermutu, mengenyan
pendidikanpun tidak pernah, jumlahnya anak-anak kita yang tidak mengenyam
pendidikan itu masih jutaan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, melalui
menanggung dana pendidikan (BOS) sampai tingkat pendidikan Menengah Pertama,
namun belum semua lapisan masyarakat tersentuh untuk menyekolahkan anaknya.
Cara-cara yang lain misalnya, dengan membuka sistem paket A, B, dan C, SMP
Terbuka, SMP Satu Atap, Penambahan RKB atau ruang kelas baru, unit gedung baru
yaitu dengan membuka sekolah baru. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, BAB VIII Pasal 34 menyatakan:
1)
setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program wajib
belajar;
2)
penerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
3)
wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggrakan oleh lembaga
pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat;
4)
ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan
ayat 3 diatur lebih lanjut dengang Peraturan Pemerintah.
Untuk menjaring sebesar-besarnya anak-anak yang
belum mendapat kesempatan pendidikan formal, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dapat memberlakuakan jam wajib belajar. Waktu jam belajar diberlakukan
tidak ada anak yang berada dijalanan, demikian juga sanksi bagi orang tua anak
yang tidak memberi kesempatan anaknya bersekolah.
Tidak hanya pendidikan melainkan juga realitas sosial
itu sendiri sudah dibangun diatas pemikiran mengenai sekolah sebagai
satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam ketergantungan yang sama terhadap
sekolah, pendidikan lalu membebani baik orang kaya maupun orang miskin.[3]
Pendidikan sebagai praktek pembebasan, bukanlah
pengalihan tau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan. Pendidikan bukan juga
ekstensi pengetahuan teknis. Ia bukan pula menanamkan laporan atau fakta
kedalam terdidik. Itu bukan pemancaraan nilai-nila dari kebudayaan terberi. Itu
bukan usaha mengadaptasikan tedidik kepada lingkungan.[4]
Banyak faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah
dan tinggal kelas, antara lain lemahnya kemampuan dan motivasi belajar siswa,
lemahnya kemampuan ekonomi, tingginya harga kesempatan (opportunity cost) sekolah terutama bagi anak-anak dari keluarga
miskin, kurang sensitifnya sekolah terhadap peserta didik, kurangnya dukungan
keluarga dan masyarakat terhadap anak yang belajar, kurang relevanya
pengetahuan yang diperoleh disekolah dengan kebutuhan siswa, dan banyak lagi.[5]
C. Banyak Lulusan yang Kurang Memiliki
Kompetensi
Masalah ini berhubungan dengan mutu pendidikan. Mutu
dapat ditingkatkan melalui beberapa komponen.
|
||||||
Bagan komponen Pendidikan
Penjelasan:
Input
adalah msukan mentah yang berwujud siswa baru yang akan memasuki lembaga
pendidikan tertentu, sesuai ketentuan yang diatur oleh lembaga tersebut,
kemudian dalam kurun waktu tertentu mereka diproses (proses input). Proses
input, dimaksudkan proses kegiatan pembelajaran. Dengan demikian yang melakukan
proses (pendidik) adalah orang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang
pendidikan. Kalau proses ini bermutu tinggi, tentunya akan menghasilakn output
yang bermutu juga. Proses input yang bermutu itu secara konsisten harus
menjalankan ketentuan-ketentuan dengan
semestinya. Misalnya guru sebelum melakukan PBM harus mempersiapkan segala
sesuatu yang akan digunakan selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar,
yang akan dialkuakan oleh guru serta yang akan dilakukan oleh siswa selama
berlangsung pembelajaran, dengan persiapan yang matang, merencanakan program
pengajaran, menyiapkan alat dan media yang akan digunakan, mencari buku sumber
yang akan digunakan, pendekatan atau metode yang sesuai, sampai kepada tindak
lanjut. Tentu saja peristiwa yang
terjadi waktu proses kegiatan belajar mengajar tidak bisa lepas dari komponen
lain yang turut menentuka keberhasilan serta kualitas output. Komponen tersebut
adalah kurikulum, biaya pendidikan, faktor non guru, budaya sekolah dan
lingkungan (environmental input)
misalnya penduduk, ekonomi, keamanan, kultur dan politik.
Output,
lulusan atau keluaran dari suatu lembaga pendidikan yang bermutu akan dinilai
oleh pengguna lulusan tersebut, sinergi atau relevan dengan pasar serta sepadan
dengan kebutuhan. Sasaran pendidikan belum tercapai sebenarnya, kendala yang
utama disini adalah peranan guru didalam melakukan proses input tadi. Oleh karena itu, guru
dituntut memiliki kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian
dan profesional. Guru harus menguasai
cara serta metode pembelajaran yang canggih artinya metode belajar mengajar
yang dapat menarik minat serta merangsang siswa belajar. Guru itu harus
mengembangkan cara-cara belajar yang kreatif dan menggairahkan para siswa. Oleh
karena itu, seorang guru harus belajar terus menerus agar pengetahuan merkan
selalu bertambah.
D. Mutu Guru Berbanding Lurus dengan
Kualitas Pendidikan
Secara hakiki, pendidikan dipandang bermutu diukur
dari kedudukanya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional. Pendidikan yang behasil adalah pendidikan yang mampu
membentuk genersi muda cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam
bahasa UNESCO (1996), yaitu mampu melakukan building
the character and mind young generasion.
Mohammad Surya dalam kuliah umumnya pada Dies
Natalies UPY ke-45 mengemukakan suatu pandangan, bahwa upaya mencapai
pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya
meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya
akan menghsilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka.
Pernyataan mengamat pendidikan Mochtar Buchori yang
menilai bahwa kebijakan pendidikan nasional saat ini masi belum jelas. Moctar
memandang, bahwa ada dua persoalan penting untuk memperbaiki pendidikan di
indonesia. Pertama, meningkatkan mutu
guru. Kedua, rasionalisasi dan
modernisasi kurikulum.
Fuad Hasan dalam pendapatnya tentang perkembangan
Pendidikan Indonesia pernah berkata,”
jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa,
justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan”. Sebagai
mantan Menteri Pendidikan, beliau tentu sadar betul bahwakualitas gurulah yang
justru menjadi permasalahan pokok pendidikan dimanapun. Baik itu di Indonesia,
Jepang, Finlandia, AS, dan dimanapun didunia ini, kualitas pendidikan dilihat
oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh
hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik, maka baik pula kualitas
pendidikanya. Contohnya adalah Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan
terbaik didunia, yang dengan serius menjaga kualitas gurunya.
Guru-guru di Finlandia dapat dikatakan sebagai
guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru
sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah
fantastis. Lulusan sekolag menengah terbaik, biasanya justru mendaftar untuk
dapat masuk disekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa
diterima, lebih ketat persainganya ketimbang masuk kefakultas bergengsi lainya,
seperti fakultas hukum dan kedokteran. Bandingkan dengan Indonesia yang
guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididika oleh
perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula.
Dengan kualitas mahasiswa yang baik, pendidikan dan
pelatihan guru akan berkualitas tinggi, sehingga tak salah jika kemudian mereka
dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Denga kompetensi
tersebut, mereka dengan mudah menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka,
dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri. Tak ada permasalahan dengan
kurikulum apa pun yang mereka inginkan, dengan koki yang hebat, bahan makanan
seadanya bisa menjadi masakan yang enak dan menarik. Sedangkan orang yang tidak
bisa memasak, hanya akan merusak bahan makanan yang sebaik apapun.
Hal ini berarti pendidikan yang baik dan unggul
tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru. Hal ini ditegaskan UNESCO dalam
laporan The Internosional Commission on
Education for Twenty-First Century, yaitu “ memperbaiki mutu pendidikan
pertama-tama terganutung pada perbaikan reicutmen,
pelatihan, status sosial dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan, karakter persona, prospek profesional dan
motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan” (Jacques Delors: 1996). Karena itu, upaya
meningkatkan mutu, profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu
keniscayaan.
Suratmi mengatakan bahwa guru harus selalu
meningkatkan kemampuan dan keahlianya untuk mempersiapkan diri dalam persaingan
dunia. Guru juga harus menjadi seorang yang dapat bekerja sama yang baik dengan
menggunakan sumber daya informasi. Ada lima syarat agar guru dapat memasuki era
global, yaitu menguasai ilmu pengetahuan dasar, memiliki kemampuan belajar
dalam berbagai situasi, sadar akan sains dan teknologi, mempunyai jiwa berusaha
dan memiliki budaya kerja yang tinggi. Dalam kaitan itu, ia meminta pemerintah
supaya memprioritaskan pembangunan disektor pendidikan, terutama tersedianya
dan pemberdayaan tenaga guru.
Lembaga pendidikan sebagai pranata sosial dari
kebudayaan didalam membangun masyarakat madani indonesia haruslah menjiwai dan
mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan
yang memasung perkembangan intelektual dan moral dari peserta didik akan
bertentangan secara dimeteral dengan tuntutan masyarakat madani.[6]
E. Profesionalisme Guru
Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional menyatakan
bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian
khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Profesi guru menurut UU tentang
guru dan dosen, harus memiliki prinsip-prinsip Profesional seperti tercantum
pada pasal 5 ayat 1, yaitu profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan
khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut ini:
· Memiliki
bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
· Memiliki
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugasnya.
· Memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Mematuhi
kode etik profesi.
· Memiliki
hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
· Memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
· Memiliki
kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
· Memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
· Memilki
organisasi profesi yang berbadan hukum.
Pada prinsipnya, profesionalisme guru
adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki
ciri-ciri antara lain: ahli dibidang praktik dan keguruan. Guru profesional
adalah guru ynag menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya
(menyampaikanya). Dengan kata lain, guru profesional adalah guru yang mampu
membelajarkan pesertadidiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik.
Guru sebagai profesi, selain memiliki
peran dan tugas sebagai pendidik, juga memiliki tugas melayani masyarakat dalam
bidang pendidikan. Tuntutan profesionalnya adalah memberikan layanan optimal
dalam bidang pendidikan kepada masyarakat. Lebih khusus, guru dituntut
memberikan layanan profesional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran
dapat tercapai.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai
jabatan profesi apabila salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki
organisasi profesi dengan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi
tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi
ini. Fungsi organisasi profesi selain untuk melindungi kepentingan anggotanya
juga sebagai dinamisator dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih
baik (Kardinata dalam Meter; 1999). konsekuensinya Organisasi profesi turut
mengontrol kinerja anggota, bagaimana anggota dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki
fungsi:
·
Menyatukan seluruh kekuatan dalam satu
wadah
·
Mengusahakan adanya satu kesatuan langkah
dan tindakan,
·
Melinndungi kepentingan anggotanya,
·
Menyiapkan program-program peningkatan
kemampuan para anggotanya,
·
Menyiapkan fasilitas penerbitan dan
bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan
·
Mengambil tindakan terhadap anggota yang
melakukan pelanggaran baik administratif maupun psikologis. Memiliki
latarbelakang pendidikan keguruan yang memadai.
Keahlian guru dalam melaksanakan
tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan
tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada
umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran
yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain:
a) sebagai pekerja profesional dengan
fungsi mengajar, membimbing, dan melatih.
b) sebagai pekerja kemanusiaan dengan
fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki,
c) sebagai tugas kemasyarakatan dengan
fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Peran guru seperti ini, menuntut pribadi guru harus memiliki kemampuan
manajerial, teknis, prosedur kerja sebagai ahli, serta keikhlasan bekerja yang
dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
Usman (2004) membedakan kompetensi guru
menjadi dua yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesioanal. Kemampuan
pribadi meliputi:
§ Kemampuan
mengembangkan kepribadian
§ Kemampuan
berinteraksi dan berkomunikasi
§ Kemampuan
melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
Sementara
itu, kompetensi profesional meliputi:
§ Penguasaan
terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk:
(1) memahami tujuan
pendidikan
(2) mengetahui fungsi
sekilah di masyarakat
(3) mengenai
prinsip-prinsip psikologi pendidikan
§ Menguasai
bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang
diajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun
bahan pengayaan.
§ Kemampuan
menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan
kompetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi
pembelajaran
§ Kemampuan
menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.
F.
Pendidikan
Gratis
Aristoteles yang hidup 384-322 SM, telah menyatakan
bahwa pendidikan adalah persiapan terbaik untuk masa tua. Ungkapan Aristoteles
menyiratkan makna, bahwa pendidikan adalah investasi, yang kita kenal sekarang
sebagai human investment. Kata
investasi selalu berdampingan dengan kata modal. Setiap investasi pasti
memerlukan modal dan kata modal lebih merujuk pada finansial. Lalu, bagaimana
dengan gagasan pendidikan gratis, mungkinkah pendidikan digratiskan? Wacana
pendidikan gratis senter mengemuka akhir-akhir ini, baik untuk konsumsi
kampanye calon pimpinan daerah maupun wacana yang diusung mahasiswa dalam
demonstrasi mereka.
Fakta aktual keberhasilan pasangan Gubernur dan
Wakil Gubernur Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, meraih kemenangan dalam pemilihan
Gubernur Jawa Barat karena salah satu menu kampanyenya mengusung ide pendidikan
gratis. Namun, wacana pendidikan gratis dalam menu kampanye tersebut kini mulai
menuai persoalan. Sebut saja misalnya, ketika soal pendidikan gratis ini
diajukan oleh seorang anak yang diasuh oleh Yayasan Danah Sosial Al-Falah
(YDSF) bernama Ayatullah saat membacakan surat dihadapan Gubernur Jawa Barat,
dalam acara peringatan hari anak Nasional yang dilaksanakan diruang Saung
Angklung Udjo, jalan Padasuka Kota Bandung.
“Pak Gubernur yang terhormat, pasti sekang ini bapak
sedang bingung untuk menjadikan sekolah-sekolah tidak perluh menarik biaya dari
muridnya. Tapi kami akan ikut berdoa semoga bapak bisa cepat-cepat muwujudkan
sekolah gratis menjadi kenyataan.”Sang Gubernur menimpalinya,” memang benar
sekali isi surat anak-anak itu. Saya sekarang sedang membolak-balik dan memutar
otak agar layanan pendidikan di Jawa Barat bisa dirasakan semua lapisan
masyarakat. Insyaallah untuk kaum Duafa akan bisa digratiskan atau dengan
pendidikan murah.
Alih-alih bisa digratiskan, pada tahun ajaran
2008-2009, hampir semua sekolah negeri kian “mahabu”(merajalela) memungut uang dari murid. Misalnya pungutan
yang relatif besar melalui apa yang disebut dana sumbangan pendidikan (DSP).
Belum soal pungutan yang diberlakukan apabila menerima siswa pindahan. Jadi,
apakah indikator-indikator ini menuju kearah sekolah tanpa pungutan dari siswa
atau gratis atau justru menjauhkanya, bahkan berseberangan jauh dengan wacana
pendidikan gratis. Dalih yang dapat dijadikan alasan bagi pihak sekolah tentu
sederet. Misalnya, untuk menyediakan fasilitas sekolah yang representatif;
untuk pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN), dan sebagainya.
Namun sejatinya, ada persoalan yang sangat
substantif bahwa sekolah kita memang sedang menuju pada ekslusivisme, yaitu
sekolah dengan biaya mhal. Bahkan, ada dalih yang mengemuka bahwa sekolah
berkualitas harus mahal atau dengan kata lain bahwa untuk menghasilkan lulusan
yang berkualitas niscaya memerlukan modal yang besar. Kobnsep ini tentu akan
menuai kontra. Apakah dengan sekolah mahal akan menjamin lulusan yang
berkualitas? Tentu saja pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan “iya” atau
”tidak”.
Didalam pertanyaan itu tersirat kandungan makna
terkait dengan komitmen, kejujuran, kesungguhan, orientasi dan cita-cita luhur.
Jadi belum tentu sekolah mahal menjamin lulusan berkualitas. Pertanyaan
mengejutkan dilontarkan Jaksa Muda Pidana Khusus (jampidsus) Marwa Efendi,
bahwa pungutan liar (pungli) yang marak tiap tahun saat penerimaan siswa baru
hampir semua sekolah di Indonesia termasuk kategori tindak pidana korupsi,
karena semua pungutan yang tidak ada landasan hukum itu pasti pungli dan pungli
adalah korupsi (Pikiran Rakyat, 12-7-2008).
Jika definisi korupsi seperti itu, maka nyaris tiap
sekolah dikategorikan melakukan korupsi. Setiap korupsi pasti merugikan, dan
yang paling dirugikan adalah rakyat. Jika hal ini terus terjadi, dapat
dipastikan sekolah dengan tidak mengadakan pungutan biaya kepada siswa atau
pendidikan gratis tidak mungkin terwujud. Dengan kata lain, pendidikan gratis
yang diwacanakan banyak pihak yang menjadi sesuatu hal yang sulit terwujud.
Memang persoalan sekolah atau pendidikan gratis
masih dipersepsi secara variatif. Ada yang mempersepsi pindidikan gratis,
sesuatu yang tidak mungkin karena biaya operasional sekolah/pendidikan tidak
murah. Ada juga yang mempersepsi pendidikan gratis, yaitu sekolah yang tidak
memungut biaya apa pu kepada murid.
Artinya biaya operasional pendidikan ditanggung pihak tertentu, seperti
donatur.
Lepas dari dua persepsi tersebut, sejatinya
mayoritas masyarakat kita menghendaki biaya sekolah tidak terus meningkat dan
begitu membebani sebagian besar orang tua murid. Tren munculnya sekolah
internasional, dan sekarang digulirkanya Sekolah Standar Nasional (SSN)
tampaknya secara tidak langsung turut mendongkrat biaya sekolah, yang sekarang sudah
mengarah kepada “komersialisasi”. Lalu, adakah tempat bagi sekolah yang tidak
memungut biaya kepada murid atau pendidikan gratis? jika pun ada sekolah
(swasta) yang tidak memungut bayaran dari muridnya karena sudah ada yang
menanggung, yaitu donatur, pasti akan menghadapi persoalan menggunungnya
peminat ke sekolah tersebut, terutama dari kalangan keluarga tidak mampu. Hal
ini, tentu saja akan memunculkan kebijakan adanya seleksi masuk karena
keterbatasan ruang kelas, dan sebagainya. Problem ini merupakan bagian integral
dari adanya pendidikan gratis.
Dalam kondisi sekarang, pendidikan gratis pun tidak
berarti bebas dari masalah. Bahkan, diakui oleh Gubernur Jawa Barat yang dulu
mengusung menu kampanye pendidikan gratis, bahkan jika pun anggaran pendidikan
mencapai angka 20% dari APBN atau APBD diluar gaji guru, tetap saja tidak akan
mampu untuk memenuhi biaya pendidikan. Dengan kata lain, secara real pendidikan
gratis, baru efektif sebatas wacana dan janji kampanye, belum realistis dalam
tataran praksis. Kalau begitu, dalam konteks sekarang ditengah kesadaran kaum
elite, pengusaha, dan kaum menengah bangsa ini yang belum peduli pada nasib
sesama, pendidikan gratis masih dianggap utopis. Kalau pun ada yang dapat
menyelenggarakanya, sebatas kasus satu dua sekolah. Jadi pendidikan gratis,
mustahil dalam arti pendidikan tanpa biaya (hasim, kompas,Juli 2008).
G. Pendidikan yang Layak
Baik
berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif, ternyata masih banyak anak
didik dari berbagai jenjang pendidikan belum mendapat pendidikan yang layak.
Selain itu, yang lebih tragis bahkan masih banyak anak usia sekolah yang tidak
dapat memperoleh hak bersekolah mereka karena berbagai alasan. Hal itu tentu
saja akan berakibat pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM )
Indonesia secara kumulatif. Hal ini pun akan berdampak luas pada rendahnya daya
saing bangsa Indonesia ditingkat persaingan Global. SDM yang rendah diera
globalisasi akan menimbulkan malapetaka bagi bangsa ini, karena dipastikan
tidak akan dapat bersaing dalam berbagai sektor kehidupan global. Selain itu,
SDM yang rendah akan memjadi beban masyarakat dan beban negara.
Mencapai
pendidikan yang layak , bukanlah perkara mudah. Pengertian pendidikan yang
layak, terkait dengan seluruh komponen penunjang pendidikan, seperti sarana dan
prasarana pendidikan. Secra kasat mata, masih banyak bangunan sekolah, terutama
bangunan Sekolah Dasar (SD), yang tidak layak pakai karena rusak atau juga
karena tidak strategis tempat keberadaanya. Gedung sekolah yang rusak tentu
akan mengganggu konsentrasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). KBM di bawah atap
bangunan sekolah yang berada dekat dengan jalan raya akan terganggu oleh bising
suara kendaraan, disamping akan mengancam keselamatan jiwa siswa yang lalu
lalang menyebrangi jalan raya ketika akan menuju dan pulang dari sekolah.
Selain itu pendidikan
yang layak menuntut adanya fasilitas belajar yang lengkap, mulai buku paket
atau buku ajar sampai dengan ketersediaan media dan sumber belajar, seperti
perpustakaan. Kelengkapan laboratorium juga salah satu indikator kelayakan
pendidikan.
Guru-guru
yang profesional dan proporsional termasuk kedalam perangkap kelayakan
pendidikan. Guru yang tidak profesional akan sangat sulit menghayati dan
menjiwai peranya sebagai pembimbing dan pengayom siswanya, guru yang tidak
profesional pun sangat sulit untuk mengembangkan dan menanamkan kepribadian
luhur kepada murid-muridnya.
Selain
itu, jumlah guru proporsional, dalam arti tidak sesuai dengan kebutuhan akan
berdampak pada kelayakan pelayanan kepada siswa. Hal ini lebih lanjut dapat
menimbulkan keterlantaran siswa dari segi asupan gizi pengetahuan, sikap dan
keterampilan mereka. Dengan demikian, mengukur kelayakan pendidikan dapat
ditakar diantaranya dari ketersediaan sarana dan prasarana belajar, media dan
sumber belajar, serta guru yang profesional dan proporsional. Oleh karena itu
pendidikan yang layak kepada setiap jenjang pendidikan merupakan suatu
keniscayaan . pengertian yang layak tentu menyangkut seluruh aspek pendidikan,
tenaga pendidik, tenaga administratif, sarana prasarana dan sebagainya.[7]
Kelayakan
seorang guru sangatlah diperlukan agar proses pembelajaran dapat berjalan
sesuai dengan program dan hasilnya maksimal. Kelayakan guru menjadi syarat
kelancaran proses sehingga harus dipenuhi sang guru dan penyelenggara sekolah. Sebagai
sebuah proses, maka kelayakan yang dituntut dalam hal ini adalah kemampuan sang
guru didalam pengelolaan proses pembelajaran, kemampuan mengajar.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbagai ilustrasi itu menunjukan rendah
dan tidak memadaianya alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia
sejak dulu hingga sekarang. Rendah dan tidak memadaianya alokasi dana untuk
pembiayaan pendidikan inilah yang menyebabkan kinerja pendidikan nasional kita
rendah, buruk, dan memprihatinkan.
Banyak faktor yang menyebabkan siswa
putus sekolah dan tinggal kelas, antara lain lemahnya kemampuan dan motivasi
belajar siswa, lemahnya kemampuan ekonomi, tingginya harga kesempatan (opportunity cost) sekolah terutama bagi
anak-anak dari keluarga miskin, kurang sensitifnya sekolah terhadap peserta
didik, kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap anak yang belajar,
kurang relevanya pengetahuan yang diperoleh disekolah dengan kebutuhan siswa,
dan banyak lagi.
Aristoteles
yang hidup 384-322 SM, telah menyatakan bahwa pendidikan adalah persiapan
terbaik untuk masa tua. Ungkapan Aristoteles menyiratkan makna, bahwa
pendidikan adalah investasi, yang kita kenal sekarang sebagai human investment. Kata investasi selalu
berdampingan dengan kata modal. Setiap investasi pasti memerlukan modal dan
kata modal lebih merujuk pada finansial. Lalu, bagaimana dengan gagasan
pendidikan gratis, mungkinkah pendidikan digratiskan? Wacana pendidikan gratis
senter mengemuka akhir-akhir ini, baik untuk konsumsi kampanye calon pimpinan
daerah maupun wacana yang diusung mahasiswa dalam demonstrasi mereka.
Kelayakan
seorang guru sangatlah diperlukan agar proses pembelajaran dapat berjalan
sesuai dengan program dan hasilnya maksimal. Kelayakan guru menjadi syarat
kelancaran proses sehingga harus dipenuhi sang guru dan penyelenggara sekolah.
Sebagai sebuah proses, maka kelayakan yang dituntut dalam hal ini adalah
kemampuan sang guru didalam pengelolaan proses pembelajaran, kemampuan
mengajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Surya Mohamad, dkk. 2010. Landasan Pendidikan; Menjadi Guru yang Baik.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Sutikno Sobry. 2006. Pendidikan sekarang dan Masa Depan.
Mataram: NTP Press.
Widiastono tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara.
Suwati.
2008. Sekolah Bukan untuk Mencari
Pekerjaan. Jakarta: Pustaka Grafia.
Freire Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT GRAMEDIA.
Tilaar H. A. R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat
Madani Indonesia. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Supriadi Dedi. 2005. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Illich Ivan. 2008. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: YAYASAN OBOR
INDONESIA.
[1] Tonny D. Widiastono. 2004. Pendidikan
Manusia Indonesia. Hal; 426-428.
[2] M. Sobri Sutikno. 2006. Hal:25 ; cet. Ke-3
[3] Ivan Illich. 2008. Hal:3 (edisi ke III)
[4] Prof. Dr. Paulo Freire. 1984. Hal: 117
[5] Prof. Dr. Dedi Supriadi. 2005. Hal: 115
[6] Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed. 2002. Hal: 174; cet: ke-3
[7] Prof. Dr. H. Mohamad Surya, dkk. 2010. Landasan Pendidikan; Menjadi Guru yang Baik. Hal: 2-14. Cet. Ke 1
[8] Suwati. 2008. Sekolah bukan
untuk mencari pekerjaan. Hal:134-135. Cet. Ke1