Donderdag 11 April 2013

PENGHAPUSAN KEMISKINAN DAN EKONOMI KERAKYATAN DALAM OTOMI DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi dan akhirnya diikuti pula dengan krisis politik dan sosial, bahkan krisis kepemimpinan telah benar-benar melanda indonesia sejak tahun 1997-2001. Pemerintahan Habibie yang menggantikan pemerintahan Soeharto juga tidak berhasil meredam semua krisis diatas. Apa yang dilakukanya adalah hanya tambal sulam tidak ada konsep yang mendasar dan menyeluruh.
Bahwa salah satu penyebab krisis adalah globalisasi pasar uang tanpa pandang bulu. Oleh karena itu disarankan Perlunya kontrol atas arus keluar masukmodal yang telah menyebabkan stabilitas perekonomian negara sedang berkembang terguncang-guncang. Investasi asing yang baik  memang diperlukan , tetapi pertumbuhan haruslah dibiayai terutama dari tabungan dan investasi dalam negeri. Ini berati menumbuhkan sistem pajak progresif yang baik. Salah satu penyebab ketergantungan akan modal asing untuk pembangunan adalah bahwa kaum elite indonesia termasuk di Asia Tenggara tidak mau dipajaki, hingga muncullah persoalan modal yang diperlukan untuk investasi. Yang berlaku di Asia tenggara adalah sistem pajak regresif, sehingga sistem pajak tak langsung telah menggerogoti penghasilan kaum berpenghasilan rendah sebagai sumber pendapatan pemerintah utama untuk membiayai pembangunan.











B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan?
2.      Bagaimana Dampak Kenaikan Harga BBM 2001?
3.      Bagaimana Pendekatan Kebutuhan Dasar?
4.      Bagaimana Otonomi Daerah?
5.      Bagaimana Ekonomi Kerakyatan?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan.
2.      Untuk Mengetahui Dampak Kenaikan Harga BBM 2001.
3.      Untuk Mengetahui Pendekatan Kebutuhan Dasar.
4.      Untuk Mengetahui Otonomi Daerah .
5.      Untuk Mengetahui Ekonomi Kerakyatan.













BAB II
PENGHAPUSAN KEMISKINAN DAN EKONOMI KERAKYATAN
DALAM OTOMI DAERAH

A.    Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan
Kemiskinan belum pernah lepas seluruhnya dari bumi Indonesia, karena kemiskinan dapat dinyatakan secara absolut maupun relatif. Secara relatif  mudah dimengerti karena dalam suatu masyarakat selalu ada kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin. Secara absolut tidak ada keharusan bahwa dalam suatu masyarakat ada kelompok masyarakat yang dinyatakan miskin. Memang kedua masalah kemiskinan tersebut semua adalah penting. Sedapat mungkin tidak ada kemiskinan relatif , sehingga dalam suatu masyarakat terdapat apa yang disebut sebagai keadilan atau pemerataan. Kemiskinan absolut sebaiknya terlebih dahulu diperangi atau dihapuskan karena hal ini mencakup kehidupan dasar yang layak. Paling tidak manusia harus hidup pas-pasan; tetapi dalam kenyataanya banyak anggota masyarakat yang hidup tetapi dibawah pas-pasan (subsistence) yang dalam hal ini kita sebut sebagai garis kemiskinan yang sangat rawan terhadap kemampuan untuk hidup adalah kemiskinan absolut dan ini mau tidak mau harus ditanggulangi. Benar juga bahwa kemiskinan relatif tidak berarti tidak penting. Kemiskinan relatif mencerminkan adanya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat; yang pada giliranya akan menimbulkan kerawanan sosial seperi yang baru saja kita alami dan sangat mencuat pada  permukaan sejak awal Mei 1998.
Namun demikian harus diakui bahwa sejak Pelita I, Pembangunan Jangka Panjang yang pertama, tampak bahwa kemiskinan absolut bangsa Indonesia memang sudah mulai menurun, tetapi dengan porak porandanya perekonomian Indonesia yang terasa sejak Juli 1997 banyak anggota masyarakat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ditambah lagi dengan adanya kerusuhan  sejak 14 Mei 1998 yang lalu bamyak bidang usaha yang rusak dan sulit untuk bangkit kembali. Kebijakan pemerintah yang ada sejak Kabinet Reformasi Pembangunan tidak mencerminkan adanya kamauan untuk mendorong kegiatan usaha yang menguntungkan secara makro maupun secara mikro.
Pembangunan adalah proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada modernisasi pembangunan bangsa dan kemajuan sosial ekonomis.[1]
Kebijakan tinggkat bunga yang tinggi sebagai instrumen kebijakan uang ketat baik ditujukan untuk menahan inflasi maupun untuk menahan kurs valuta asing agar tidak naik terus tampak tidak berhasil. Kurs rupiah terhadap dolar masih tidak menentu dan berkisar pada tingkat yang tinggi (antara Rp 14.000;-sampai Rp 16.000;/per dolar AS) dan tingkat harga umum juga meningkat terus yang sulit untuk didatakan tetapi fakta menunjukan harga-harga untuk semua barang selalu meningkat.
Kebijakan tingkat suku bunga tinggi adalah sejalan dengan saran dan kehendak IMF yang berjanji hendak mengucurkan uang bantuan sebesar $ 3 milyar dolar AS dan yang segera akn dikucurkan sebagian dari padanya sebesar 1 milyar dolar AS. Dengan tingkat bunga tinggi, IMF dan pemerintah skarang berharap akan mampu meredam inflasi dan meningkatkan efisiensi, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kegiatan produksi tidak mau berkembang yang berarti jumlah barang dan jasa yang ada dalam perekonomian akan menjadi langka, pengangguran akan semakin meningkat karena adanya tambahan anggatan kerja secara alami dan juga krena adanya PHK yang mencapai jumlah sekitar 1,5 jiwa akibat dari kerusuhan Mei 1998. Pemutusan hubungan kerja berjalan terus diberbagai sektor industri. Pengangguran secara keseluruhan telah mencapai angka sekitar 13,5 juta jiwa angkatan kerja pada menjelang akhir 1998.
Selanjutnya kebijakan tingkat bunga tinggi dengan spread bunga yng negatif (deposito bejangk sekitar 55% pertahun; sedangkan bunga kredit hanya sekitar 35% pertahun) sehingga kalau kebijakan ini diteruskan dalam jangka satu tahun saja, perekonomian indonesia tidak akan bangkit tetapi justru akan menuju jurang kehancuran.
Perlu disadari pula bahwa tingkat inflasi atau kenaikan harga umum itu tidak hanya disebabkan oleh kekuatan permintaan yang ditimbulkan oleh banyaknya uang yang beredar, tetapi juga disebabkan oleh sisi penawaran yang mengalami penyusutan karena produksi barang dan jasa yang merosot serta karena isu keamanan yang tidak menentu. Dengan merosotnya sisi penawaran barang dan jasa dan tingginya jumlah uang beredar dalam masyarakat, maka inflasi akan berlangsung terus. Oleh karena itu sebaiknya Pemerintah atau Bank Indonesia mengambil kebijakan yang bersegi banyak yang mampu meredam kedua sisi permintaan dan sisi penawaran. Tetapi saya yakin bahwa apabila sisi penawaran lewat peningkatan produksi dapat dikembangkan, maka harga-harga cenderung akan tidak naik lagi. Untuk itu perlu tingkat bunga bank ditekan kembali, sehingga memungkinkan para pengusaha atau produsen mau berusaha kembali, dan bank-bank tidak akan mengalami kesulitan dana dikemudian hari.
karena permintaan terhadap devisa tetap tinggi. Kewajiban pembayaran utang akan tetap membayangi para debitor, disamping memegang uang dolar AS lebih dirasa aman oleh pemilik uang dibanding dengan memegang rupiah tunai. Tingkat bunga tinggi yang dimaksudkan untuk menyerap dana rupiah, justru mendorong para pemegang uang tunai mendapatkan rejeki nomplok seandainya meraka menyimpan uang dibank dalam bentuk deposito berjangka. Mengapa demikian?; karena dengan menyimpan uang di bank dalam waktu satu tahun saja uangnya telah menjadi 1,55 kali lipat atau misalnya kalu ada nasabah yang menyimpan uang Rp200.000.000,- dalam bentuk deposito,dalam waktu satu tahun uang tersebut akan menjadi Rp310.000.000,- suatu penghasilan yang lumayan tinggi.kemudian di praktekan oleh mereka adalah dengan penghasilan bunga itulah mereka membeli dolar AS lagi,sehingga mereka akan menjdi kaya lebih cepat dan kurs dolar AS tidak akan turin.Secara keseluruhan kebijakan pemerintah ini justru menciptakan kesenjangan pendapatan dalam masyarakat (size distribution yang memburuk); yaitu yang miskin menjadi semakin miskin dan yang kaya menjadi semakin kaya.karyawan sosial lah yang menjadi akibatnya.
Kita lihat sekarang data mengenai penduduk miskin dan kemiskinan yang ada di indonesia. Batas garis kemiskinan dapat di dekati dengan dua cara yaitu dengan melihat jumlah kalori yang di lihat konsumsi seseorng atau dengan melihat penghasilan per kapita masyarakat. Secara absolut dalam arti kalori batas garis kemiskinan tersebut tetap yaitu setinggi 2.100 kalori peer hari; sedangkan dengan ukuran tingkat pendapatan angka tersebut harus direvisi terus karena adanya pengaruh inflasi, yaitu pada tahun 1980 Rp20.614,- di perkotaan dan Rp13.295,- di pedesaan, kemudian oleh BPS telah direvisi pada tahun 1988 manjadi Rp52.470,- di perkotaan dan Rp41.588,- di pedesaan. selanjutnya jumlah penduduk miskin yang jumlahnya telah menurun terus sejak pelita I tahun 1967/68, jumlah ini telah meningkat kembali secara drastis pada tahun 1998 yaitu dari 22,5 juta jiwa pada tahun 1996 meningkat tajam menjadi 79,4juta jiwa pada tahun 1998; suatu peningkatan hampir sebesar 40%. Oleh karena itu sesungguhnya ekonomi Indonesia sungguh-sungguh sangat payah; karena tingkat pertumbuhan telah mencapai ngka negatif 14%, pengangguran meningkat tajam sekitar 15% jumlah angkatan kerja, dan kemiskinan meningkat 40% dan mencapai angka sekitar 80 juta penduduk.

B.     Dampak Kenaikan Harga BBM 2001
Dalam kondisi politik nasional yang tidak mantap, Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil keputusan yang berani yaitu menaikan harga BBM dengan rata-rata 30% dan tarif dasar listrik dengan rata-rata kenaikan 20% pada tanggal 16 Juni 2001. Rendahnya harga BBM ini telah merupakan salah satu sumber defisit APBN yang sangat dominan; oleh karena itu direncanakan untuk menaikan harga BBM itu sampai dengan tahun 2004 sampai tidak diperlukan lagi subsidi BBM. Jika harga BBM tidak dinaikan sebesar 30%, subsidi BBM akan mencapai Rp.66 Trilyun. Ini adalah selisih biaya untuk menutup perbedaan harga jual dan biaya produksinya. Sudah diperhitungkan jika pemerintah menaikan harga jual minyak langsung sama dengan biaya produksinya, maka harga minyak harus dinaikan sekaligus sebesar 40%. Karena BBM merupakan bahan dasar untuk melakukan kegiatan disegala sektor dan kehidupan, kenaikan harga BBM yang sangt drastis akan menaikan harga barang dan jasa termasuk harga kebutuhan sehari-hari rakyat banyak; walaupun kenyataanya biaya bahan bakar minyak hanya mencakup sekitar 6% dari rata-rata biaya produksi disektor industri pengolahan. Untuk rumah tangga pengeluaran untuk BBM hanya meliputi sekitar 1,07% untuk kelompok miskin dan 0,15% untuk kelompok runah tangga tidak miskin, atau seluruhnya sekitar 0,21% dari anggaran belanja keluarga. Namun untuk pengeluaran transportasi rata-rata rumah tangga miskin dan tidak miskin mengeluarkan sekitar 2,60% dari seluruh anggaran belanja keluarga. Oleh karena itu sebenarnya kelompok rumah tangga miskin yang paling menderita beban kenaikan harga BBM, karena disamping kebutuhan bahan bakar dan transportasi, kebutuhan-kebutuhan lain pasti naik pula harganya, sedangkan penghasilan mereka relatif kecil.
Sebenarnya pemerintah bukan tidak tahu akan dampak itu semua khususnya terhadap kelompok rakyat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu Pemerintah sudah menyiapkan dana kompensasi untuk membantu mereka dalam bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, keamanan dan pengentasan kemiskinan termasuk operasi pembagian beras. Dana kompensasi ini di sisihkan dari hasilpengurangan dana subsidi BBM sebesar Rp 2,3 Trilyun pada tahun 2001. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mekanisme yang ditempuh agardana kompensasi itu mencapai sasaranya. Pengalaman yang lalu dengan dana jaring pengaman sosial (JPS) telah banyak terjadi kebocoran; tentunya untuk dana kompensasi ini dapat diusahakan agar kebocoran itu tidak terlalu besar atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Kesulitan lainya ialah seringnya pelaksanaan pembayaran oleh pemerintah pusat terhadap dana-dana kompensasi ini terlambat, misalnya baru pada 2 bulan terakhir (kasus kenaikan harga BBM Oktober tahun 2000) sebelum tahun anggaran selesai. Dipihak lain rakyat yang berkepentingan tidak dapat menunggu, sehingga demi keamanan dan ketertiban maupun ketentraman, Pemerintah Daerah harus menalanginya terlebih dahulu.  Dampaknya  jelas terasakan pada kondisi anggaran pendapatan dan belanja pemerintah Daerah (APBD).
Demikian pula dalam kasus kenaikan harga BBM tahun ini, salah satu masalahnya adalah bahwa ketentuan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak tanah sebagai BBM yang paling banyak dibutuhkan oleh kelompok berpendapatan terkecil dalam masyarakat diserahkan kepada masing-masing Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Memang mereka yang lebih memehami situasi didaerahnya. Tetapi kalau tidak ada peraturan pembatasan mengalirny minyak tanah dari daerah yang satu kedaerah yang lain, maka akan terjadi realokasi supply minyak tanah kedaerah-daerah yang memberikan HET tertinggi diluar biaya transport dan biaya distribusi lainya. Dapat terjadi disuatu daerah kekurangan minyak tanah dan didaerah lain terdapat kelebihan pasokan minyak tanah.

C.     Pendekatan Kebutuhan Dasar
Bagaimana menanggulanginya? Inilah pertanyaan penting yang harus segera dijawab. Langkah pertama adalah kembali pada kebutuhan dasar (basic need appoach) yaitu bahwa pemerintah harus menyediakan kebutuhan rakyat yang hakiki, yaitu kebutuhan untuk hidup. Untuk bisa hidup orang harus memiliki penghasilan dan untuk memiliki penghasilan orang harus memiliki pekerjaan. Jadi mau tidak mau pemerintah harus berusaha keras menciptakan lapangan kerja yaitu dengan proyek-proyek padat karya baik dikota-kota maupun dipedesaan. Pemerintah tidak perlu memikirkan teknologi canggih seperti memproduksi kapal terbang atau kapal perang berteknologi tinggi; karena kebutuhan yang sangat mendesak adalah kesempatan kerja dan produk-produk untuk kehidupan dasar. Lahan-lahan tidur didesa maupun dikota-kota harus segera ditanami dan mendatangkan hasil untuk menunjang kehidupan. Jangan sampai bahan makan saja harus diimpor dari luar negeri. Hidup tidak hanya dengan beras saja, tetapi dapat dengan berbagai sumber kalori yang lain seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, terigu, pisang, tales yang semuanya itu dimungkinkan untuk dihsilkan dibumi Indonesia yang kaya ini. Bangsa Samoa dan Fiji tidak makan beras, tetapi mkan taro (tales) dan pisang sebagai makanan pokok namun dapat hidup sehat. Oleh karena itu tingktkan kembali pembangunan pertanian yang sementara ini terlantar dan pemerintah terlena dengan pembangunan industri berteknologi tinggi dikota-kota. Kita harus sanggup untuk kembali kepada pengelolaan kekayaan alam kita yang berlimpah dengan membangun kembali sektor pertanian agar benar-benar menjadi sektor pembangunan yang tangguh dalam menghadapi gejolak ekonomi apapun.
Tampaknya sektor pertanian mengalami pergeseran pada tahun 1998, yaitu produksi padi diperkirakan menurun terus sejak tahun 1997, dan pada tahun 1998 diperkirakan produksi pada mencapai 48.195.224 ton yaitu merosot dengan 2,15%, tetapi disisi lain produksi jagung pada tahun 1998 diperkirakan mencapai 9.401.964 ton pada tahun 1998 yaitu meningkat dengan 7,34% pertahun. Selanjutnya produksi kedelai juga meningkat menjadi 1.468.447 ton pada tahun 1998 yaitu meningkat dengan 8,13% per tahun. Ini sesungguhnya menggambarkan bahwa kita masih mampu meningkatkan produksi pertanian asalkan didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya positif yaitu kebijakan harga yang menarik bagi petani, kebijakan subsidi pupuk dan obat-obatan, kebijakan yang mendorong penelitian yang meningkatkan teknologi pertanian. Philipina, Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat mempunyai anggaran yang besar untuk penelitian dibidang pengembangan produk-produk pertanian ini.
APBN Indonesia untuk 1998/1999 mengalami revisi berkali-kali, tetapi sejak Pemerintahan Orde Baru sesungguhnya sudah selalu mengalami defisit. Memang dikatakan APBN menganut anggaran yang seimbang dan dinamis, tetapi sesungguhnya keseimbanganya itu bersifat semu karena defisit yang selalu terjadi pada anggaran pengeluaran ditutup dengan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri pemerintah pada tahun 1998 telah mencapai sekitar 60 milyar dolar AS. Defisit APBN ini terjadi karena merosotnya penerimaan minyak dan juga menurunya penerimaan pajak. Lebih-lebih pada tahun 1998 dimana diperkirakan pendapatan nasional merosot 10% jelas tidak akan mampu mendatangkan pendapatan pemerintah yang berupa penerimaan dari pajak yang memadai jumlahnya. Bersama-sama dengan tingkat inflasi yang tinggi ada baiknya pemerintah memikirkan strategi yng pernah ditempuh oleh negara lain, khususnya Amerika Serikat yang menggunakan manajemen sisi penawaran (supply sides management). Pada saat pemerintah Amerika Serikat mengalami defisit APBN dan inflasi yang tinggi, pemerintah AS justru menggenakan pemotongan pajak penghasilan dan pajak perseroan. Sebagai akibatnya Pemerintah Amerika Serikat mengalami peningkatan penerimaan pajak yang melonjak tinggi, karena dasar pengenaan pajak (tingkat pendapatan dan laba perusahaan) menjadi lebih tinggi. Ini semua karena masyarakat seakan-akan mendapat intensif untuk bekerja lebih giat, menabung lebih giat dan juga menginvestsi lebih giat. Konsumsi-konsumsi yang tidak penting ditunda, karena orang bersemangat bekerja keras.
Kiranya “supply sider management” itu dapat dikombinasikan dengan penggunaan “easy money policy” (kebijakan uang longgar), agar supaya produksi barang dan jasa meningkat, kesempatan kerja terbuka dan pengangguran berkurang; dan hasil akhirnya inflasi kembali normal seperti semula kurang dari 10% pertahun. Dengan meningkatkan produksi dalam negeri , khususnya produk-produk pertanian akan mendukung perkembangan sektor produksi yang berbasis pertanian (agroindustry), dan akan menjadi dasar yang kuat bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Ingat Amerika Serikat, Jepang, Australia dan New Zealand adalah negara-negara yang mempunyai sektor pertanian yang tangguh dan tetap tangguh disegala bidang sampai sekarang. Pengalaman terakhir dinegeri kita juga menunjukan bahwa sektor pertanian lebih tahan banting dibanding dengan sektor industri; lebih-lebih sektor pertanian kecil justru akan lebih tahan dan luwes dalam mengalami goncangan dari pada usaha produksi yang besar-besar.







D.    Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut undang-undang No. 22 Tahun 1999 adalah kewengan daerahuntuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam ikatan Negara Kesatuan Rupublik Indonesia.[2] Jadi kalau kita ingin merealisasikan adanya otonomi daerah berarti kita ingin merencanakan dan melaksanakan sendiri apa yang menjadi kepentingan kita didaerah. Khususnya dikabupaten maupun di kota-kota. Untuk dapat merencakan dan melaksanakan sendiri apa yang diinginkan daerah, tentu tidak lepas dari aspek pembiayaanya. Setiap kegiatan pasti memerlukan pembiayaan. Dalam rangka melaksnakan otonomi daerah di Indonesia, pemerintah pusat telah mengeluarkan undang-undang dan serangkaian Peratuaran Pemerintahyang mengatur tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dearah. Perimbangan keuangan itu dimaksudkan untuk memperkuat keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi daerah, serta untuk menjamin pemerataan pembangunan antar daerah.
Banyak kesalahan interpretasi terhadap pengertian otonomi daerah. Dengan otonomi daerah dikira lalu daerah merdeka dan bahkan ingin lepas diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timbul juga pikiran ekstrim bahwadengan otonomi daerah lalu daerah masing-masing akan menutup diri. Orang yanga berasal  luar daerah tertentu tidak akan diperkenankan untuk mendapatkan pekerjaan atau sumber penghidupan didaerah tersebut. Hanya orang asli daerah itu saja yang boleh mendapatkan sumber penghidupan didaerah tersebut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tenaga kerja lulusan dari perguruan tinggi di Yogyakarta misalnya harus bekerja di Yogyakarta juga dan tidak boleh dipekerjakan didaerah lain. Ini semua adalah pemikiran yang keliru. Dengan otonomi daerah justru hubungan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain harus semakin erat dan saling mengisi dan tolong menolong.
Dalam kehidupan yang modern sekarang ini tidak mungkin suatu daerah akan menutup diri dan memenuhi semua kebutuhanya dari daerahnya sendiri. Perekonomin daerah itu bersifat terbuka. Hubungan perdagangan dan komunikasi akan membuka suatu daerah tertentu dan kebutuhan penduduknya akan dapat saling dipenuhi dengan cara tukar menukar barang dan jasa. Daerah yang banyak uang tentu akan membeli daerah lain barang-barang yang tidak tersedia didaerahnya, atau ada namu n yang kualiatasnya lebih baik. Demikian juga sumberdaya manusia yang memadai tentu akan dapat menolong daerah lain yang mengalami kekurangan tenaga kerja, baik tenaga terdidik, tenaga terampil maupun tenaga kasar. Sebaliknya daerah yang kay akan sumber daya alam, tentu akan memiliki dana yang cukup besar sebagai dampak dari Undang-Undang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, tentu dana yang ada akan digunakan semaksimal mungkin demi pembangunan daerahnya. Kalau daerah tersebu kekurangan tenaga terdidik pasti akan mendatangkan tenaga terdidik dari daerah lainyang berlebihan untuk membantu daerah tersebut. Oleh karena itu tetap optimis dengan otonomi daerah, karena dengan model pembangunan seimbang (balanceed growth) tersebut semua daerah akan berkembang bersama-sama. Kekurangan didaerah yang satu akan dipenuhi dengan tersedianya kelebihan didaerah yang lain.

E.     Ekonomi Kerakyatan
Pasal 33 ayat 1, Undang-Undang Dasar 1945, dimana perekonomian Indonesia diatur berdasarkan atas asas kekeluargaan. Arti kekeluargaan disini adalah adanya hubungan yang harmonis antara siapa saja yang terlibat dalam kegiatan usaha. Hubungan antara buruh dengan majikan harus harmonis saling menghargai. Majikan memiliki faktor produksi modal dan skill, tetapi tenaga kerja (buruh) memiliki faktor produksi tenaga kerja dan keterampilan. Mereka itu semua adalah rakyat. Jadi baik majikan maupun buruh adalah sama-sama rakyat, sehingga yang dimaksud ekonomi kerakyatan seharusnya adalah ekonomi yang melibatkan semua pihak baik majikan maupun tenaga kerja.
Dalam setiap masyarakat, sejak zaman Adam Smith dan Ricardo (1700-an), telah terdapat kelompok-kelompok pelaksana ekonomi. Menurut David Ricardo dalam perekonomian terdapat kelompok pemilik tanah, kelompok pemilik kapital, dan kelompok pemilik tenaga kerja (buruh). Dalam perkembanganya yang dikaitkan dengan pembagian hasil produksi, pemilik tanah mendapatkan sewa tanah, pemilik kapital mendapatkan bunga dan laba, dan buruh mendapatkan upah; dimana pembagian itu semakin lama semakin menguntungkan pemilik tanah. Bagian pendapatan yang diperoleh pemilik tanah dalam bentuk sewa tanah semakin tinggi karen tanah merupakan faktor produksi yang semakin langka. Disisi lain pemilik modal menerima bagian yang semakin besar pula tetapi dengan laju yang semakin kecil; dan akhirnya kelompok buruh hanya menerima bagian yang relatif tetap atau bahkan menurun.
Dengan berdasarkan analisis pada teori Ricardo tersebut, tampak bahwa peranan pemilik tanah sangat menentukan kehidupan seseorang, khususnya bagi petani. Di Indonesia banyak orang yang tidak mempunyai tanah sama sekali (landless) dan hidupnya hanya menjual tenaga kerjanya. Dan mereka ini terdapat baik sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian.


























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembangunan adalah proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada modernisasi pembangunan bangsa dan kemajuan sosial ekonomis.
Otonomi daerah yang mengandalkan pada perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaan sendiri kegiatan-kegiatan didaerah sangat dimungkinkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi kepada warga masyarakat didaerah yang bersangkutan. Otonomi daerah jangan diartikan sebagai merdeka lepas dari NKRI , tetapi justru dengan otonomi daerah itu kerjasama antar daerah harus semakin ditingkatkan.
Ekonomi kerakyatan menuntut adanya kerjasama serta peningkatan semangat gotong royong antar berbagai pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan. Hubungan majikan-buruh diganti dengan hubungan antara sesama partner kerja.
peranan pemilik tanah sangat menentukan kehidupan seseorang, khususnya bagi petani. Di Indonesia banyak orang yang tidak mempunyai tanah sama sekali (landless) dan hidupnya hanya menjual tenaga kerjanya. Dan mereka ini terdapat baik sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian.












DAFTAR PUSTAKA

Suparmoko. 2002. EKONOMI PUBLIK untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Basri Yuswar Zainul dan Mulyadi Subri. 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri. Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang. 1999. Jakarta: CV. Eko Jaya.



[1] Yuswar zainul basri dan mulyadi subri. 2003. Hal: 15
[2] Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dalam sepuluh undang-undang 1999, CV. Eko Jaya, Jakarta, 1999. Hal 6